Jejak Gerilya Di Hutan Priangan - Sardjono Kartosoewirjo, putra mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, menegakkan posisi duduknya dan mengencangkan volume pemutar musik di mobil itu. Suara penyanyi balada Amerika, John Denver, terdengar melantunkan Take Me Home, Country Roads.
Almost heaven, West Virginia
Blue Ridge Mountains
Shenandoah River...
Mobil yang ditumpanginya memasuki gugus pegunungan di pinggiran Kota Bandung. "Saya anak hutan, lahir dan tumbuh di hutan," kata pria 48 tahun itu. Sardjono dilahirkan ketika ayahnya bergerilya setelah memproklamasikan Negara Islam Indonesia dan baru keluar dari hutan pada usia lima tahun.
Pertengahan Juli lalu, Sardjono bersama Tempo melakukan napak tilas menyusuri daerah gerilya Kartosoewirjo. Rombongan berangkat dari Jakarta siang hari, senja sampai Bandung, dan masuk pegunungan Jawa Barat saat rembang petang.
Mendekati daerah Malangbong, Garut, sekitar satu jam perjalanan dari Bandung, Sardjono membaca selarik sajak dengan suara bergetar. "Di jalan ini kami pernah menerobos pagar betis tentara, mau ketemu Bapak di gunung seberang," katanya. Ayahnya dieksekusi regu tembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta.
MOBIL tumpangan itu terseok-seok melintasi daerah pegunungan. Hujan deras mengganggu penglihatan dan pendengaran. Sardjono, yang duduk di kursi depan, terus bercerita tentang masa kecilnya. Jalanan naik-turun berkelok tajam, kanan-kiri berselang-seling area permukiman dan hutan. Di rerimbunan hutan, 60 tahun lalu Kartosoewirjo bersama para pengikutnya menggalang kekuatan. Hutan tempat gerilya terbentang luas di gugus pegunungan Priangan-Ciamis, Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya.
Pemberontakan Kartosoewirjo dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah pusat, juga oleh hasil perundingan pemerintah pusat dan Belanda yang dinilai merugikan. Perjanjian Renville pada 1949, misalnya, yang berisi kesepakatan membagi daerah kekuasaan Indonesia dengan Belanda, mendorong pasukan Siliwangi di Jawa Barat melakukan long march ke Jawa Tengah, di daerah kekuasaan Republik. Kartosoewirjo dan pengikutnya menolak ikut serta.
Batas daerah kekuasaan Republik dengan Belanda dipisahkan garis Van Mook-yang memanjang di daerah Tasikmalaya sepanjang Sungai Citanduy. Daerah kekuasaan Indonesia berada di sebelah timur sungai, termasuk Ciamis. Daerah di sebelah barat, termasuk Tasikmalaya, menjadi wilayah Belanda. Di Jalan Dr M. Hatta terdapat jembatan yang melintasi sungai itu. Papan reklame komersial bertebaran di sekitarnya. Di daerah aliran sungai, pepohonan masih rimbun.
Jejak garis Van Mook kini juga direpresentasikan Jembatan Cirahong, 15 menit perjalanan dari pusat Kota Tasikmalaya. Jembatan sepanjang 200 meter itu dibagi dua. "Separuh masuk Ciamis, separuhnya masuk Tasik," kata warga pengatur arus kendaraan di mulut jembatan.
Karena perlintasan hanya searah, kendaraan yang lewat harus meluncur bergantian. Bagian bawah jembatan merupakan jalan kendaraan umum, dan bagian atasnya untuk lintasan kereta api. Air sungai terletak 30 meter di bawah.
JOHN Denver telah mengganti lagunya menjadi Forest Lawn. Mobil tumpangan itu kini melintasi jalan tanah berbatu 10 kilometer di sekitar Gunung Galunggung. Di sekeliling terlihat gerombolan kera berkerumun. Dari jalanan terlihat tebing yang menyangga punggung gunung. "Atas gunung itu dulu dijadikan tempat pemantau," Sardjono mengisahkan. Dari sana, petugas mengamati gerakan pasukan musuh. Komunikasi antarpetugas menggunakan siulan atau suara burung.
Daerah bawah punggung gunung dijadikan markas karena tersembunyi dan dekat dengan aliran sungai. Kebutuhan sehari-hari cukup tersedia. Itu adalah markas terbesar-menampung sang Imam, julukan Kartosoewirjo, dan 500 orang pengikutnya, termasuk pengawal dan keluarga.
Durasi menetap rombongan Kartosoewirjo di satu tempat bergantung pada potensi ancaman. Di daerah yang tak aman, mereka tinggal hanya dua malam. Di tempat sebaliknya, mereka bertahan hingga setahun. Kawasan hutan itu kini masih lebat oleh pohon. Ketika bergerilya dulu, rombongan Kartosoewirjo masuk jauh ke dalam hutan. "Di atas sana," kata petugas wisata Cipanas Galunggung menunjuk ke arah pedalaman.
Banyak kegiatan membunuh sunyi. Salah satunya olahraga. "Favoritnya senam lantai," kata Sardjono. Dalam masa berpindah-pindah itu, peralatan senam berupa ring besar selalu dibawa. Nantinya ring digantungkan di tangkai pohon yang besar. Saat senggang, Kartosoewirjo senam bergelantungan. "Tangannya kekar, lebih kuat dari kakinya."
Kartosoewirjo dan timnya juga mendekati penduduk desa, merekrut anggota, sekaligus mencari tambahan logistik. Pernah ada cerita tentang suami-istri dari desa pinggir hutan yang menitipkan bayinya ke rombongan Kartosoewirjo. Mereka khawatir si bayi bakal dimangsa harimau karena sang ayah mendalami ilmu pamacan-kesaktian yang bisa meningkatkan kemampuan diri hingga mirip macan. Setiap malam, pasukan Kartosoewirjo bergantian menjaga si bayi dengan tombak yang ujungnya dibebat kain yang dibakar. Naas, di malam ke-40, semua penjaga ketiduran. "Esoknya, tinggal ibu jari bayi yang tersisa," Sardjono mengisahkan.
Kegiatan rutin lain adalah bergerilya menghindari kepungan tentara, terutama ketika Operasi Pagar Betis digelar. Ada saatnya rombongan harus menyeberangi pagar betis tentara. Barikade tentara Republik sangat ketat. Setiap 10 meter ada posko pasukan. Tali penghubung antarpos digantungi kaleng-kaleng sehingga berisik bila terlanggar.
Kisah lucu menerobos pagar betis pernah terjadi saat rombongan Kartosoewirjo akan menyeberang ke daerah Garut. Sekitar 200 orang mengendap-endap di malam hari. Memasuki area perkebunan, kendaraan patroli tentara mondar-mandir. Pemimpin rombongan di depan memberikan pesan dengan berbisik secara beruntun. Awalnya, pesan berbunyi: "Hati-hati ada patroli." Tapi, sampai tengah, pesan mulai menyimpang, dan sampai ke belakang menjadi: "Aya huwi, aya huwi"-bahasa Sunda yang berarti "ada ubi". Sebagian anggota rombongan berhamburan mengejar fatamorgana. "Untung tidak tertangkap," kata Sardjono geli.
KEMAL masih fasih melafalkan cukilan ayat Al-Quran-"Dan tidaklah engkau melempar ketika melemparkan, Allah yang melempar." Dulu, ayat itu selalu dibacanya setiap kali akan meletupkan senjata mesin otomatis sesuai dengan petunjuk komandannya. "Saya pemegang bren," katanya. Waktu muda perkasa, Kemal adalah tentara Darul Islam. Sekarang dia sudah renta, ringkih. Ia hanya bisa berbahasa Sunda.
Rumahnya di Ciakar, Cibeureum, Tasikmalaya. Kampungnya berbatasan dengan hutan, tepat di kaki Gunung Galunggung. Saat disambangi, dia sedang menunggu magrib: bersarung, dengan peci hitam dan sorban merah lusuh. Kemal tak tahu tahun kapan dilahirkan. Dia hanya ingat usianya 17 tahun ketika bergabung dengan Kartosoewirjo.
Awalnya, Kemal masuk Institut Suffah, lembaga pendidikan Islam yang didirikan Kartosoewirjo pada 1940-an, yang berlokasi di jalan Malangbong-Blubur Limbangan. Orang tua Kemal terpesona oleh ajaran Kartosoewirjo sehingga menyekolahkan anaknya di sana. Selama menjadi tentara, Kemal sering bertugas menyusup ke desa-desa pinggir hutan. Karena itu, dia jarang bertemu dengan Kartosoewirjo. Yang jelas, "Setiap perintah Imam harus kami laksanakan," katanya.
Di matanya, Kartosoewirjo adalah pribadi yang keras dan bijaksana. Dalam banyak kesempatan di markas, dia selalu memberikan pengajian dan tuntunan kepada anak buahnya. "Rujukannya Al-Quran. Kartosoewirjo dasarnya Islam. Kalau Soekarno kan Pancasila," ujar Kemal.
Selain mengajarkan agama, Kartosoewirjo menggelar latihan kemiliteran bagi laki-laki dan keterampilan khusus untuk perempuan. "Seperti jahit-menjahit," kata Dudung, 85 tahun, bekas tentara Darul Islam yang kini tinggal di Kampung Padakarya, Sariwangi, Tasikmalaya.
Mendapat ajaran agama, para anggota menggebu. "Kami berjuang menegakkan Islam," kata Kemal. Tapi Operasi Pagar Betis pelan-pelan melemahkan mereka. Pasokan logistik terhenti, ruang gerak menyempit. Satu per satu anggota menyerah. Kartosoewirjo akhirnya menginstruksikan turun gunung. "Kembalilah bertani di kampung," kata Kemal menirukan sang Imam.
Tag :
Sejarah
0 Komentar untuk "Jejak Gerilya Di Hutan Priangan"