Awal Mula Perlawanan Kartosoewirjo

Awal Mula Perlawanan Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan Belanda. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.

Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.

Melihat ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Mohammad Natsir sebagai penghubung pemerintah-yang saat itu berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo. Hatta menganggap Natsir cukup kenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama orang Masyumi, Natsir dan Kartosoewirjo beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A. Hassan, tokoh Persatuan Islam, di Bandung.

Natsir, dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya. "Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik," kata Natsir.

Namun baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia tak terhindarkan. Kontak senjata pertama terjadi 25 Januari 1949 di Kampung Antralina, Ciawi, Tasikmalaya. Pertempuran pecah akibat masing-masing pihak mengklaim diserang lawan. Sejak itu, bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia terus menyala.

Bagi Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat berarti peluang mendirikan Negara Islam. Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Tanggal itu persis dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, atau Darul Islam. Sebelum berangkat, Hatta berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo. Ketika itu, 4 Agustus, Natsir menginap di Hotel Homann, Bandung. Dia menulis pesan di selembar kertas hotel, kemudian meminta tolong A. Hassan menyampaikan ke Kartosoewirjo. Apa daya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi Darul Islam. "Ya, terlambat. Itu namanya takdir Tuhan," kata Natsir, 21 tahun lalu.

Menurut Natsir, Kartosoewirjo dijaga ketat pengawal. Tak sembarang orang bisa bertemu. A. Hassan pun diminta menunggu beberapa hari. Kalaupun tiba tepat waktu, tak mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. "Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah sendiri," kata Natsir.

Kartosoewirjo terus bergerilya. Tapi hubungan Kartosoewirjo-Natsir tetap tersambung. Selama bergerilya, paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada Presiden Soekarno, yang ditembuskan kepada Natsir.

Surat pertama dikirim 22 Oktober 1950, berisi pujian atas keputusan pemerintah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik antikomunis. Di surat berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan kepada pemerintah melawan komunisme. "Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup semati," katanya. Namun Kartosoewirjo memberikan syarat: pemerintah harus mengakui Darul Islam.

Usaha Natsir melunakkan hati sang Imam tak berhenti. Pada Juni 1950, Natsir mengutus Wali Al-Fatah menemuinya. Ia teman lama Kartosoewirjo. Namun Kartosoewirjo menolak bertemu. Sang Imam menyatakan hanya bersedia menerima pejabat tinggi Indonesia, bukan utusan. Memang bukan Natsir yang menaklukkan sang Imam. Ia peluru yang menembus dada Kartosoewirjo pada September 1962 di Teluk Jakarta.

Awal 1950. Satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung rapat sebuah rumah di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasukan bersiaga di segenap penjuru. Semua senapan teracung ke arah rumah itu. Di situlah diduga tinggal salah satu perwira Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Haji Syarif alias Ghozin.

Tak menunggu lama, perintah tembak berkumandang. Peluru pun berhamburan. Sang target utama, Ghozin, malah luput dan berhasil melarikan diri. Hanya istri dan pembantu Ghozin yang bisa dibekuk.

Aneh. Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III/Siliwangi, yang dua hari kemudian datang memeriksa, menaruh syak. "Harusnya seekor ayam pun tidak akan bisa kabur," kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu "Imam" Darul Islam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Alex meminta semua anggota pasukan yang terlibat pertempuran itu diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan beberapa anggota pasukan Siliwangi punya hubungan kerabat dengan tokoh Darul Islam. Hubungan kerabat itulah yang membuat prajurit Siliwangi terkesan ragu melawan tentara Kartosoewirjo.

"Cerita itu tidak benar," kata Kolonel (Purnawirawan) Suhanda, 82 tahun, mantan Komandan Kompi C Batalion 328 Kujang. Anak buah Suhanda, yakni Sersan Mayor (Purnawirawan) Dana, 68 tahun, juga ragu akan kesaksian Sardjono. Dua belas tahun setelah peristiwa pengepungan itu, Juni 1962, Kompi C berhasil menangkap Kartosoewirjo.

Tentara Islam ini memang liat dan ulet. Persenjataannya ala kadarnya dan pasokan logistik pun ekstraseret. Mereka bertahan bergerilya, dari gunung ke gunung, selama belasan tahun.

Dana mengakui keuletan Tentara Islam. Tapi ada juga faktor lain. "Fokus TNI terpecah karena banyak pemberontakan lain di luar Jawa," ujar Dana.

Pada awal pemberontakan Tentara Islam, semula pasukan Siliwangi belum menemukan taktik yang jitu. Kolonel Alex menilai pasukan yang dipakai untuk menumpas tentara Kartosoewirjo terlalu besar. "Mobilitasnya jadi kurang. Lamban sekali," kata Alex dalam biografinya. Alex mengakui kesulitannya menundukkan Kartosoewirjo kendati di awal pemeberontakan dia sempat berjanji akan menumpas Darul Islam dalam waktu enam bulan saja. Dia kemudian meminta pasukannya membentuk tim patroli dalam jumlah lebih kecil, tapi lebih gesit. "Cukup satu peleton saja, tapi harus terus bergerak, baik siang maupun malam."

Patroli dalam tim-tim kecil ini pun kurang memadai menghadang pasukan Kartosoewirjo. Sebagian warga Priangan yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi Tentara Islam. Alex menganalisis situasi pihak lawan menguasai medan dan didukung sebagian rakyat. Strategi yang dibutuhkan, menurut Alex, adalah strategi antigerilya.

Alex sudah kenyang pengalaman dalam perang gerilya dari penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan. Dia melatih anak buahnya berbagai jurus antigerilya, terutama hinderlaag (penghadangan), juga menentukan gevechtstelling atau posisi tempur. Strategi inilah yang akhirnya mematahkan perlawanan Tentara Islam.

Dua peneliti, Cornelis van Dijk dan Karl D. Jackson, punya sejumlah teori kenapa perlawanan Tentara Islam Indonesia bisa bertahan lama, bahkan jauh lebih lama dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta, yang digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.

Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat ketimbang respons masyarakat terhadap PRRI, yang elitis. Pada akhir 1960-an, Jackson meneliti 19 desa di Jawa Barat. Kesimpulannya, enam desa memihak Darul Islam, tujuh desa condong ke Pemerintah Republik, dan sisanya hanya mengikuti "arah angin".

Harus diakui pula bahwa Kartosoewirjo lihai merengkuh simpati masyarakat dengan simbol Islam yang digunakannya.
Tag : Sejarah, Tokoh
0 Komentar untuk "Awal Mula Perlawanan Kartosoewirjo"

Back To Top