Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Murid Tjokroaminoto

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Murid Tjokroaminoto - Rumah bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini. "Lantainya saja masih dari semen," kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo itu memang sudah "bawaan". "Kartosoewirjo itu kan orang Cepu," ujarnya. "Kalau kita bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian." Kartosoewirjo yang dikenal gila membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan dia peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi wartawan dan menulis di berbagai media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.

Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik secara terbuka, bahkan tak ragu menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.

Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat "menganggur", Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto. "Saya tertarik pada pidato-pidatonya," kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng Jaelani.

Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari kiai-kiai yang ditemuinya. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga Kartosoewirjo. Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto "diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia," kata putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. "Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto," kata Bahtiar Effendy.

Tjokroaminoto menggem-bleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.

Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman pemerintah kolonial. Ia juga membahas soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia berkorban demi membela agama Islam.

Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto. Di partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi nonkooperatif.

Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco komunis, Kartosoewirjo mengikuti langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.

Pada 1929, "kursus" ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam. 

MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam perang. Padahal para pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan.

Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.

Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia baru bersama "keluarga Asia Timur Raya."

Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif. "Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi. Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia)," tulisnya.

Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik. Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama. Programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan.

Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Nama tokoh politik Islam setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toda, dan Kamran, masuk kepengurusan. Dalam pidatonya, Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran Islam yang hanif, menjaga persatuan, dan menghentikan konflik karena perbedaan ideologi.

"Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda," katanya. Ia mematangkan partai yang diharapkan menjadi wahana organisasi bagi semua kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya sendiri, laskar Hizbullah dan Sabilillah di Priangan.

Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras hati. Sikap kerasnya pada persetujuan Renville mendorong Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri Pertahanan. Tapi dia menolak, karena masih merasa terikat dengan Masyumi dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke kiri.

Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang, Jawa Timur, Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo yang mewakili Masyumi menegaskan menolak persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu menguntungkan Belanda, yang nyata-nyata ingin kembali menjajah Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik, Kartosoewirjo diancam gerilyawan sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta Kartosoewirjo mencegah pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.

Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memfokuskan perjuangan bersenjatanya dengan basis Islam. Dalam pertemuan di Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan Masyumi dan semua cabangnya di Jawa Barat. Kartosoewirjo membentuk Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung, walaupun tidak ikut menghantam.

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang mengajaknya turun gunung, kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit, "Barangkali saudara belum menerima proklamasi (Darul Islam) kami."
Tag : Sejarah, Tokoh
0 Komentar untuk "Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Murid Tjokroaminoto"

Back To Top